Rabu, 01 Juni 2016

HISTORIES

 ASAL USUL NAGARI SULIT AIR

  1. Berdasarkan Kejadian Alami
Disuatu lembah atau lurah yang bernama “Talak Ayie” di Jorong Koto Tuo, dulu ditemukan air yang keluar dari celah-celah batu yang mengalir ke anak sungai didekat situ. Karena celah – celah batu tempat keluarnya air itu sempit sekali , maka air itu keluar seperti sama dengan berdesak-desakan , sehingga air itu tampaknya begitu susah atau sulit sekali untuk keluar dari celah batu tersebut. Kenyataan dari kejadian alami itulah timbulnya kata “sulitnya air” itu muncul , sebab anak nagari yang mula-mula menyebutkan susahnya atau sulitnya air , baik kenyataan pada muncul ditemukannya air tersebut maupun pada kenyataannya di Jorong Koto Tuo (koto mula-mula ada di Sulit Air) itu sampai kini memang air sulit diperoleh karena jauh dari aliran sungai. Dan juga pada tempat-tempat tertentu dijorong-jorong lain yang berada pada ketinggian tertentu yang jauh dari sumber atau aliran air.

2. Berdasarkan Perubahan Logat Bahasa.

Menurut versi cerita lain , kata “Sulit Air” berdasarkan dari aslinya akar kata “Solek Ayie” atau lengkapnya “Ayie Nan Tasolek Dibatu” ; yang maksudnya adalah air yang keluar dari celah-celah batu tampat begitu sulitnya. Pada hal air yang mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang rendah , jika melalui celah-celah batu menurut hukum alam memang demikianlah keadaannya. Lama-lama perkembangan kata solek ayie dalam percakapan lambat laun berubah menjadi “Sulik Ayie” yang dalam bahasa Indonesia sama dengan “Sulit Air”.
Sumber lain mengatakan bahwa kata “Sulik Ayie” berasal dari kata “Silek Ayie” yakni Sulit Air itu berasal dari kata “Silat Air” atau “Pendekar Air”. Filosofi alamnya adalah bahwa air ini mulai mengalir dari sumbernya “mata air” yakni dari gunung atau bukit ataupun tempat-tempat yang tinggi melalui anak-anak sungai dilembah-lembah sekitarnya menuju laut lepas. Dia mengalir siang dan malam tanpa henti-hentinya. Walaupun dicemari oleh berbagai unsure yang menyebabkan air tadi berubah rasa, bau dan warna : namun yang namanya air itu tetap bersih dan jernih dari hulu sampai kehilir bahkan sampai kelaut lepas, sang air ini pada dasarnya tetap “bersih dan jernih”

3. Berdasarkan Kharakter Penduduknya.
Diakui atau tidak dalam pergaulan sehari-hari , bila kita bicara dengan seseorang Anak Nagari Sulir Air , baik yang berdomisili dikampung halaman , maupun yang berada diperantauan , apakah itu dalam acara “maota pangka titi” , rapat-rapat, berdiskusi membahas sesuatu dan lebih-lebih lagi dalam musyawarah yang telah melibatkan segala unsure dan status ; sejak dulu telah timbul kesan seolah-olah “sulit” atau “susah” dalam perhitungannya. Orangnya yang sulit atau susah berurusan , mungkin akibat pengaruh alam atas wilayah atau daerah itu.
Kita ambil contoh berikut ini :
    1. Dalam Masalah Tanah. Misal sudah ditetapkan batas tanahnya si Angku Nengka dengan Tuan Empun bahwa batas tanah mereka adalah sebatang pohon kelapa dengan batang pohon enau dengan mengambil garis lurusnya. Batas alam adalah bukit dan sungai didekatnya. Setelah berlalu beberapa generasi , dimana saksi telah berkurang karena merantau atau meninggal dunia dan kalaupun masih ada telah lupa pula tak mau jadi saksi. Keturunan si Nengka menyebutkan batas tanah ulayatnya adalah dari batu alam yang dulunya masuk wilayah si Empun ke Pohon Kelapa yang katanya dia pula yang punya. Tentu saja cucu si Empun bersikeras batas yang benar adalah garis lurus seperti tersebut diatas dan pohon kelapa adalah milik bersama. Maka timbullah “permasalahan pada tanah ini” dan menjadi sengketa berkepanjangan sampai mereka tua pula dan mereka sulit untuk didamaikan. Banyak kejadian dan versi sulitnya menyelesaikan masalah tanah di Sulit Air dewasa ini, bahkan ada diantaranya mereka adalah “satu keturunan nan saparuik”
    2. “Indak Ado Lihie Nan Indak Bisa Dicakiek , Indak Ado Pula Pandeka Nan Indak Buluih Di Sulik Ayie”. Artinya adalah “tidak ada leher yang tidak bisa dicekik , tidak ada pula pendekar yang tidak tumbang di Sulit Air. Dengan adanya perkiraan asal kata Sulit Air yang tadi berasal dari kata “Silat Air” atau “Pendekar Air” , maka bila mereka berkata-kata hampir semua seolah-olah sudah merasa lebih dari yang lain.Pernah terja- di seseorang mengaku dan berbuat seperti jagoan di Sulit Air , maka yang tak senang dengan sikap dan perbuatannya dicarikanlah lawannya. Yah begitulah, dia dikalahkan dan ditumbangkan dihajar lawannya. Sejak itulah dia bersikap “manakuo sajo lai”
Lubuak Nunang & Titi Bagonjong (Foto Dokumentasi H Dozri Armis BSc)
    1. Begitu juga kalau “terlalu merasa pintar berbicara” menghadapi orang. Tak mau dan tak perduli terhadap aturan kebiasaan umum yang ada , baik adat istiadat maupun tata aturan yang dikeluarkan oleh yang berwenang dalam suatu forum, maka dia yang diakui “pandai bersilat kata” (awak maucapkan) , tapi belum tentu diakui sebagai “pendekar dalam karajonyo” (awak mangarajokan) , akibatnya tangguang suranglah bagaimana jadinya (awak manyandang tangguang jawabnyo) ; maka apapun status dan kedudukannya di nagari , orang tak memperdulikannya lagi.
    2. “Belum dan Tidak Berjiwa Keizen Ala Jepang’. Jika ada suatu perkembangan ilmu dari bangsa lain yang telah terbukti baik membawa kemajuan bagi diri maupun lingkungan masyarakat, belum tentu di Sulit Air bisa diterapkan begitu saja, kecuali yang telah berada diperantauan yang membawa kemajuan dan keberhasilan dalam usaha bisnis dan karir pekerjaannya. Jiwa keizen adalah dapat menerima dan meniru pola kerja baru yang diterapkan dan dilakukan terus menerus tiada henti dengan mengadakan perubahan atau perbaikan untuk ,mendapatkan hasil yang lebih baik dari yang semula.Jiwa keizen semula dimiliki bangsa Jepang yang telah ditiru dan diterapkan oleh individu maupun kelompok masyarakat hampir diseluruh dunia tanpa tekanan ataupun paksaan dalam bentuk apapun.Itulah jiwa keizen ala Jepang. Tapi hal ini sulit diterapkan di Sulit Air. Kita ambil contih ;
Sudah banyak proyek-proyek yang telah dirintis dan disumbang oleh “perantau yang berhasil” untuk membangun dan mengembangkan kehidupan yang layak di Sulit Air. Lihat Sumbangan dan Pengembangan Sapi Perah yang telah pernah ada , tapi tak jalan dan hilang begitu saja. Peresmian dan pengembangan perkebunan buah-buahan oleh Bupati Solok dulu (insinyur pertanian) pada suatu lahan di Jorong Sarikieh , kenapa lenyap begitu saja ? Padahal air cukup tersedia di Jorong ini untuk penyiramannya agar tak kekurangan air. Perkebunan tersebut tak berkembang dan lahannya kini telah menjadi semak-semak dan kembali menjadi hutan lagi

Hutan Pinus yang ditanam tahun 1970-an telah banyak tumbuh besar di Sulit Air,
Karena mengakibatkan berkurangnya resapan air, disarankan untuk ditebang habis saja.
Pada umumnya asal-usul Nenek Moyang Orang-orang di Minangkabau , termasuk Nenek Moyang Anak Nagari Sulit Air diterima berdasarkan cerita dan keterangan lisan dari orang-orang tua , baik yang masih hidup maupun yang telah tiada : yang dulunya bercerita pada anak cucunya. Dan amat tergantung pada kesegaran ingatan dan bahan-bahan yang diterimanya pula secara lisan dan diteruskan pula secara turun temurun dengan jalan bercerita pula. Sekedar berpegang dengan hal-hal diatas. Dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Sulit Air yang mungkin pula nenek moyang wilayah sepuluh koto diatas, sepuluh koto Singkarak bahkan mungkin juga nenek moyangnya seluruh kabupaten Solok. Diceritakan bahwa nenek moyang orang Sulit Air itu adalah sebagai berikut ;
  1. Nenek Moyang yang berasal dari Pariangan-Padang Panjang , melalui bukit-bukit dan lurah menuju kenagarian antara lain Bukit Kandung dan Pasilihan sekarang dan akhirnya menemui suatu tempat bernama Ompang dan Tompok yang kini menjadi wilayah Jorong Talago Laweh. Setelah beberapa lama mereka bermukim disitu, kemudian ada yang pindah dan bermukim pula disuatu tempat bernama nagari asalnya yakni Padang Panjang , lalu menyebar kearah Koto Tuo sekarang. Inilah koto yang tertua sekali yang didirikan di Sulit Air , setelah banyak berdirinya taratak-taratak dan kampung-kampung disekitarnya. Ini diperkirakan terjadi dimasa masih beragama Hindu sekitar abad ke 10 dan sesudahnya
  1. Nenek Moyang yang datang dari Batu Sangkar , yang mula pertamanya juga berasal dari Pariangan-Padang Panjang , yang melalui Nagari Pasilihan sekarang dan daerah menetapnya yang pertama bernama Taratak Bungkuk.
  1. Nenek Moyang yang datang dari arah Kacang Rosam , dimana mula pertama daerah yang didiaminya adalah Guguak Cerek dan sekitarnya.
Dari ketiga asal tersebut diatas, barulah setahap demi setahap mereka berpindah lagi kedaerah lain dalam wilayah Sulit Air sekarang. Keterangan ini dikemukakan berdasarkan kesamaan-kesamaan dalam ; dialog/logat bahasa , hubungan darah dan sangkut paut pada harta pusaka dalam adat.
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh H.R. Rangkayo Sutan dan Drs.H.S. Dt.Polongkayo , ditulis mengenai sejarah datangnya nenek moyang anak nagari Sulit Air secara cukup lengkap. Dalam buku itu banyak sekali cerita-cerita mengenai asal usul nama-nama tempat dalam nagari Sulit Air dan sekitarnya. Nama-nama tempat tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
  1. ………. Batang Ombilin sedang meluap airnya . Beberapa lupak sawah yang baru ditanami yang berdekatan dengan sungai itu tertutup dan tertimbun kosiek (pasir) dan batu-batu kerikil. Untuk mengingat-ingat tempat itu Dt.Mulo Nan Kawi memberikan nama Sawah Kosiek.
Pesantren dan Akademi Manajemen EL HAKIM di Piek Ontang – Sulit Air
(Foto Syukri Tamin 2005)
  1. ……….. Puti Anggo Ati amat senang dan berteriak :”pasie bailin”. Karena beberapa anggota rombongan berminat untuk menetap ditempat itu dan Dt.Mulo Nan Kawi dapat merestuinya dan memberinya nama tempat itu “pasie bailin” yang lambat laun berubah jadi Pasilihan……
  1. …………….Disuatu tempat mereka berkemah dan bermalam. Karena perjalanan jauh meletihkan , lama sekali mereka “takolok” atau terlelap. Setelah tinggi benar matahari baru mereka terbangun. Untuk mengabadikan kenangan itu, maka tempat tersebut mereka beri nama “Takolok”, yang lama-lama berubah disebut “Kolok” saja.
  1. ……….Rombongan itu berhenti sebentar didangau-dangau (pondok kecil), punya si Bungkuk itu dan tempat itu kemudian dipopulerkan Puti Anggo Ati dengan nama “Taratak Bungkuak”…………………….
  1. ……………..sebagai rasa terima kasih kepada batang limau purut yang dianggap telah memberikan pertolongan itu, maka Dt.Mulo Nan Kawi memberi nama tempai itu dengan “limau puruik”
  1. ………..Datuk Mulo Nan Kawi senyum-senyum dan mengangguk-angguk kecil, hingga dari mulutnya sering kedengaran berkata : “aa-lai , ado juo lai…” , …………. Dan tempat itu diberi nama “Alai”.
  2. ………..Pada suatu tempat (di koto tuo ?) mereka menemukan air yang keluar dari celah-celah batu yang mengalir ke anak batang air disitu. Karena celah-celah tempat keluarnya air tersebut sempit sekali , maka air itu keluar seperti berdesak-desakan yang kelihatannya lucu dan indah serta berbunyi seperti rintihan-rintihan kecil yang tidak berkeputusan…………….., berkata Puti Anggo Ati : “Tuan ! , Lieklah sulikno ayie kalua li ! , …..”Iyo sulik ayie disiko !, …
  3. ……….. maka melekatlah nama “Sibumbung Jantan” , yang lain “Sibumbung Betina” , lama – lama berubah menjadi “Sibumbun Jantan“ dan “Sibumbun Betina” hingga kini …..
  4. ……………….kita namakan saja “ Sundak Langik” ……
  5. ……. Marilah masing-masing kita beri nama “Gunung Merah” dan “Gunung Putih”……….. Dalam perkembangan lebih lanjut karena kening gunung yang berukir wana merah itu “licin bak kaca , datar bak papan”, pendudukpun mempopulerkan pula dengan nama “ Gunung Papan “.
  6. ….. namakan saja “Guguok Ujuong Nan Tenggi” …. Pendekkan sajalah menjadi “Guok Jonggi”.
  7. … jaraknya demikian dekat dengan kita , bagaikan “dimuko muncuong kito sajo “, namakan saja “Guguok Muncuong ! ”………

Masjid Raya – Sulit Air (Foto Dokumentasi H Dozri Armis BSc)


.Sebagaimana diketahui, tahap pertama Perang Paderi (1802-1821) adalah pertikaian dan pertempuran antara PASUKAN PADERI yang dipimpin oleh Harimau Nan Salapan melawan Kaum Adat yang berkuasa saat itu diperbagai nagari. Dilihat dari pergerakan geografis, Pasukan Paderi saat itu , mulai dari Bukik Batabuah sampai ke Sungai Puar , hingga meluas dan memencar keseluruh penjuru arah mata angin di Minangkabau, hingga termasuk Sulit Air.
…….Sulit Air terletak ditengah-tengah ranah Minangkabau. Pada waktu itu dibutuhkan titik singgah yang memungkinkan pergerakan pasukan Paderi menjangkau berbagai wilayah. Sulit Air merupakan salah satu lokasi yang paling memungkinkan , mengingat posisi “geografis yang sangat strategis” Di Sulit Air , yakni dari puncak “Gunung Papan” (Gunung Merah) dan Bukit-bukit lainnya dapat terlihat bentangan alam Luhak Limopuluh Koto , Tanah Datar hingga Sawah Lunto. Disamping itu disekitar Sulit Air terdapat beberapa titik pantau yang bagus , yaitu Batu Api di Tanjung Alai , Bukit Kacang dan Simawang , untuk melihat pergerakan-pergerakan disepanjang tepi Danau Singkarak.
Tahun 1804 Luhak Tanah Agam telah jatuh ke tangan Paderi, berikutnya adalah Luhak Limopuluh Koto , serta Danah Datar tahun 1808. Sebuah benteng pertahanan Paderi dibangun di sbelah Timur Alahan Panjang dikaki Bukit Tajadi. Kaum Paderi kemudian dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Pada tahun 1812 Datuk Sati dari Alahan Panjang memimpin penyerbuan ke benteng Bonjol. Bila ini diambil sebagai patokan , tentu gerakan Pasukan Paderi adalah dari Timur ke Utara, lalu ke Selatan , dan periode antara 1808-1812 adalah periode konsolidasi. Dari garis perjalanannya , tentulah melewati wilayah Sulit Air dan menjadikannya tempat persinggahan. Atau tentu telah merupakan “Dormitory Town (asrama militer) Pasukan Paderi” , yang lambat laun menjadi salah
Satu nagari untuk dijadikan permukiman tetap (setelah usai Perang Paderi)
……..Kembali secara geografis, Sulit Air sudah berbentuk benteng secara alami, hingga tidak memerlukan konstruksi khusus. Ketika dimulainya lagi peperangan pada tahun 1821 , yakni dimulainya periode kedua Perang Paderi, Belanda melancarkan serangan-serangan kerusuk-rusuk pertahanan Pasukan Paderi. Beberapa pertempuran pada tahun 1821 itu, menyebabkan Sulit Air jatuh ketangan Belanda.
Ketika dimulai lagi Perang Paderi periode ketiga (1832-1837) , Sulit Air kembali menjadi dormitory town dan kubu pertahanan. Pada pertempuran besar tahun 1837 pasukan Paderi bercerai berai , sehingga Tuanku Imam Bonjol memerintahkan Pasukan Paderi untuk pulang ke kampung halamannya masing-masing dan hidup sebagai rakyat biasa. Seusai Perang Paderi (1837) Nagari Sulit Air adalah tempat pilihan untuk memulai kehidupan baru bagi sebagian besar mantan Pasukan Paderi. Dengan demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa Sulit Air mulai dibangun sebagai Nagari sejak tahun 1837 itu ( kemudian berbaur dengan yang telah datang dan bermukim terlebih dahulu yang datang pada masa agama Hindu , dimana mereka memeluk agama Islam setelah datangnya mantan Pasukan Paderi ini ).
Karena membawa dua paham adat yang saling berbeda , maka mereka mufakat untuk memakai atau menjalankan adat mana yang terbaik dari kedua adat tersebut, “ Bodi Chaniago inyo indak, Koto Piliang inyo antah”

Pemain Puput atau Pupuik Batang Padi Yang Dibalut Daun Muda Kelapa.
Peniup Pupuik ini tak ditemukan lagi di Kab.Solok umumnya, Sulit Air
Khususnya, tersingkir oleh Hiburan Modern (Televisi atau Organ Tunggal)
(Photo Repro ARSIP NASIONAL R.I.)
Sulit Air bagi penjajahan Belanda dan juga Inggeris , merupakan sebuah Nagari yang tak pernah mereka lupakan dalam era penjajahannya dahulu. Dalam Peta dunia yang dibuat Belanda dahulu, pada peta Indonesia khususnya pulau Sumatera, nama Nagari Sulit Air ditemui dan dicantumkan ; tetapi pada peta yang dibuat oleh kita sendiri Indonesia tidak ditemui atau belum dicantumkan. Barulah pada Pemerintahan Orde Baru , nama Nagari Sulit Air telah tertulis dan dapat kita baca sampai sekarang.
Dalam cerita lain, bahwa sebelum Belanda menguasai Sumatera Barat, wilayah pantai Barat Sumatera ini adsalah wilayah Negeri Merdeka dibawah naungan Kerajaan Pagaruyung. Pertama kali bangsa Asing yang ingin menguasainya adalah Inggeris, kemudian Belanda. Inggeris yang telah menguasai Bengkulu permulaan abad ke 19 itu mencoba menaklukkan kerajaan Pagaruyung ini. Terjadilah perlawanan dimana-mana , antara lain ; Pemberontakan Pariaman (1818) , Gerakan Harimau Nan Salapan (1808-1820) dan Perjuangan Sulit Air (1820). Mengenai perlawanan Anak Nagari Sulit Air , dalam buku Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Tengah (terbitan1960) , didalam halaman 28 ditulis tentang kedatangan Inggeris sebagai berikut :
……………….akhirnya Rafles datang dengan tentaranya (dari Bengkulu) untuk menghancurkan kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung, maka Rafles mendirikan sebuah kubu (benteng) dipinggir danau Singkarak, di nagari Simawang. Tapi, karena serangan ini tertahan disebabkan perlawanan yang dilakukan rakyat dari Sulit Air, maka rencana penggempuran Rafles itu menjadi gagal dan Pagaruyung tidak jadi dapat dikalahkannya …………………..

Buku ini mengakui bahwa perlawanan Anak Nagari Sulit Air telah menyelamatkan pusat pemerintahan Minangkabau dimasa itu yaitu Pagaruyung yang masih pusat kaum adat. Berdasarkan “Tractat Sumatera”, Inggeris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda, sebagai gantinya Belanda menyerahkan pulau-pulau diujung Semenanjung Melayu (sekarang Negara Singapura).
Tuanku Imam Bonjol berhasil bersatu dengan Kaum Adat dan mendirikan pusat kekuatan di Bonjol. Belanda datang kembali dan mendirikan Loji di Padang dan juga mendirikan Benteng “For De Kock” di Bukit Tinggi. Karena penghianatan salah seorang pemuka kaum adat (Tuanku Saruaso) , Belanda banyak memperoleh petunjuk, baik jalan menuju Bonjol (terdekat melalui Simawang – Sulit Air) maupun pusat-pusat kegiatan dan kekuatan kaum Paderi. Maka pecahlah kembali Perang Paderi (1821-1837). Karena Sulit Air merupakan pintu gerbang menuju Bonjol, perlawanan pertama adalah rakyat Anak Nagari Sulit Air sebagai mana cerita sejarah berikut ini :
“Belanda datang kembali dengan bala tentaranya dan tiba di Simawang. Mendengar ini rakyat Sulit Air dibawah pimpinan Datuk Malakewi , Datuk Bagindo Nan Panjang dan Datuk Bandaro Kunieng menghimpun dan mempersiapkan perlawanan. Pertempuran pecah di Bukik Kanduang, kemudian di Talago Laweh dan yang terhebat atau paling sengit di Mambaru-Gando. Ketiga nama tempat diatas (kecuali Bukik Kanduang) termasuk dalam wilayah kenagarian Sulit Air. Serbuan pertama Belanda ini untuk menuju Bonjol dapat digagalkan berkat perlawanan Rakyat Sulit Air.